Kamis, 09 Juni 2011

politik Etis


Latar Belakang
Sesudah tahun 1850 kaum libueral memperoleh kemenangan politik di Belanda. Dampaknya sanagt jelas terasa bahkan di negeri jajahan, termasuk Hindia Timur. Antara  tahun 1870-1900 usaha-usaha perkebunan swasta barat banyak tumbuh di wilayah negeri-negeri jajahan termasuk Indonesia. Usaha-usaha perekebunan swasta barat ini tumbuh pesat da mendatangkan keuntungan yang besar bagi pengusaha. Kekayaan negeri jajahan mengalir dengan lancar ke negeri Belanda, sama seperti jaman tanam paksa. Akan tetapi keadaan ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh rakyat negeri jajahan. Seperti yang terjadi pada rakyat di Jawa. Kesejahteraan mereka merosot tajam, terutama sejak terjadi krisi perkebunan tahun 1885. Krisi ini mengakibatkan harga sewa tanah turun dan upah pekerja pabrik juga ikut mendapat potongan yang cukup besar. Pada akhir abad ke-19 muncul kritik-kritik tajam yang ditujukan pada pemerintahan HIndia-Belanda akibat kegagalan praktek liberalisasi ini. mereka menganggap liberalisasi tidak jauh berbeda dengan tanam paksa yang hanya menguntungkan negeri belanda dan mengabaikan nasip rakyat yang ada di tanah jajahan.

Lahirnya Politik Etis
Politik etis ata politik balas budi adalah sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah colonial memeganng tanggung jawab moral untuk mensejahterakan rakyat bumi jajahan yang telah banyak member kemakmuran bagi Belanda. Pemikiran ini awalnya muncul drai kritik terhadap tanam paksa dan kembali muncul saat terjaidkrisi perkebunan tahun 1885. Kritik ini dilontarkan oleh kaum etis. Munculnya kaum etis dipelopori oleh Pieter Brooshooft, wartawan Koran De Locomotife, dan C. Van Deventer yang ternyata membuka mata pemerintah belanda untuk lebih memperhatikan nasip rakyat bumi jajahan.
Tanggal 17 Sepertember 1901 Ratu Wilhelmina naik tatah. Dalam pidatonya pada pembukaan Parlemen Belanad, dia menegaskan bahwa pemerintah belanda mempunyai kewajiban moral dan hutang budi terhadapp bangsa pribumi di Hindia-Belanda. Dalam pidato itu Ratu Wilhelmina mengungkapkan kebijakan untuk mewujudkan tanggung jawa belanda kepada tanah jajahan, yaitu dengan program trias politika. Ketiga kebijakan politik nalas budi (etis) ini meliputi:
1.      Meperbaiki dan membangun pengairan-pengaira dan bendungan untuk keperluan pertanian rakyat pribumi (irigasi)
2.      Mengajak penduduk pribumi untuk trnasmigrasi ke daerah yang jarang penduduknya (emigrasi)
3.      Memperluas bidang pendidikan danpengajaran (edukasi)
Selanjutnya ketiga kebijakan ini dikenal dengan trilogy Van Deventer karena terinspirasi dari tulisan Van Deventer yang berjdul Een ereschuld (berhutang budi) yang dimuat dalam Koran De Locomotief. 

Pekasanaan Politik Etis
Kebijakan pertama dan kedua politik etis berjalan tidak sesuai dengan targetnya. Banyak penyimpangan terjadi di sana. Bahkan dalam dunia pendidikan masih terjadi sikriminasi antara kaum pribumi dengan orang-orang keturunan.
Dalam bidang irigasi, pembangunan saluran irigasi dilakukan bukan untuk mengairi lahan pertanian rakyat tetapi justru untuk mengairi perkebunan-perkebunan milik kaum liberal. Pembangunan bendungan juga didasarkan pada tujuan yang sama sehingga kebijakan ini sama seklai tidak menguntungkan rakyat pribumi.
Emigrasi memang pada prakteknya terjadi dengan cukup baik. Banyak penduduk jawa yang cukup padat melakukan perpindahan, transmigrasi, ke beberapa daerah yang berpeduduk jarang. Akan tetapi mereka dipindahkan ketempat yang disana berdiri perkebunan-perkebunan swasata, seperti di sumatera timur. disana mereka dijadikan sebagai buruh-buruh kasar perkebunan yang dibayar dengan upah nimin. Mereka sengaja didatangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan yang luas-luas itu.
Pengaruh politik etis dalam bidang edukasi berbeda dengan kedua bidang lainnya. Penyimbpangan tetap ada, akan tetapi ini merupakan tonggak awal dari lahirnya kesadaran akan kebangsaan bagi generasi muda yang akan datang. Politik etis sangat berperan dalam perluasan pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Salah seorang pejabat belanda yang berjasa dalam bidang pendidikan ini adalah J.H. Abendanon, yang menjabat sebagai menteri kebudayaan, agama dan kerajinan antara tahun 1900-1905. Ia mendirikan sekolah-sekolah rakyat, baik untuk para priyai maupun rakyat biasa hampir merata di seluruh daerah-daerah. Mulai tahun 1900 berdiir banyak sekolah yang nantinya akan mencetak generasi muda yang mengnatarkan bangsa paa pintu gerbang kemerdekaan. Sebut saja OSVIA (Opleiding School Vor Inlandsche Ambtenaren) yaitu sebuah sekolah yang mencetak pamong praja serta STOVIA (School Tot Opeiiding Van Inlandsche Artsen) yang menjadi cikal bakal fakultas kedokteran.
Walaupun pemerintah colonial belanda melaksanakn program pendidikan melalui politik etis tetap saja sekolah tidak ditujukan untuk meningkatkan sumber daya manusia bangsa pribumi dalam segi pengetahuan. Pemerintah belanda mendirikan sekolah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja rendahan yang akan mengoperasionalkan pabrik dan perkebunan modern, serta mengisi pos adminsitrasi pemerintahan colonial. Sekolah-sekolah itu juga hanya bisa dinikamti oleh sebagian golongan saja, sesuai dengan status social pemerintahan colonial. Pendidikan yang dibuka hanya diperuntukkan untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang mampu. Terjadi diskriminasi pendidika, yaitu pengjaran di sekolah kelas 1 untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang pribumi yang berharta diajarkan pada kelas 2 di sekolah umum untuk orang-orang Indo, eropa, priyayi, dan golongan asia timur jauh.


Senin, 06 Juni 2011

sistem Pemerintahan HIndia Belanda tahun 1903


Birokrasi colonial adalah pemerintahan yang berfungsi sebagai alat bagi penjajah untuk melakukan proses pengawasan terhadap wilayah jajahannya sehingga mempermudah mengambil keuntunngan atas wilayah jajahan yang harapannya mampu memberikan surplus ekonomi bagi negeri induk.
Di Indonesia bangsa Belanda mendirikan pemerintah hindia belanda dan diikuti dengan membenahi system pemerintahan dengan menggunakan prinsip modern dan mereformasi system administrasi belanda dengan membagi administrasi menjadi karesidenan-karesidenan, menyamakan gelar jabatan, member pejabat tugas pemerintahan namun tidak mengurusi perdagangan dan produksi tetapi hanya mengurusi peradilan dan keamanan. Semua itu dilakukan untuk mempersiapkan dan meulai nusantara sebagai negara jajahan Belanda.
Birokrasi pemerintahan colonial disusun secara hirarki yang puncaknya ada pada Ratu Belanda. Dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintahannya di negara-negara jajahan, Ratu Belanad menyerahakan pemerintahan kepada wakilnya yaitu Gubernur Jenderal. Kekuasaan da kewenangan Gubernur Jenderal meliputi seluruh keputusan politik atas wilayah jajahan yang ia kuasai.
struktur pemerintahan Hindia Belanda

Susunan birokrasi colonial adalah:
1.        Pejabat tertinggi dipegagng oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil dari Ratu Belanda
2.      Gewest atau Residentie dijabat oleh seorang Rasiden
3.       Afdeeling dijabat oleh seorang asisten rasiden
4.      Onder Afdeeling serta gegenshap dijaba oleh seorang controller dan bupati
5.      Distric dijabat oleh seorang wedono (demang, punggawa)
6.      Onderdistrick dijabat oleh seorang asisten wedono (asisten demang, camat. manca)
7.      Desa dijabat oleh seorang lurah
Proses rekruitmen pada masa colonial ini sangat ditentukan oleh penguasa kolonialyang disesuaikan dengan kebutuhan pemerintahan colonial dalam melangsungkan kekuasaannya atas wilayah jajahan.
Dari posisi pada birokrasi colonial tersebut, terdapat tiga posisi utama, yaitu gubernur jenderal, residen, dan asisten rasiden. Ketiganya bertugas sebagai administrasi colonial sehingga dijabat oleh orang-orang belanda (orang Indonesia yang tunduk kepada belanda) sedangkan mulai dari tingkat bupati sampai lurah dijabat oleh orang-orang pribumi, umumnya jabatan ini merupakan warisan dari birokrasi kerajaan setempat.
Dengan melihat struktur birokrasi colonial diatas bisa dilihat bahwa pemerintah HIndia-Belanda menggunakan dualism siste pemerintahan, yaitu pemerintahan modern yang berlaku di Eropa, khususnya Belnada, dan system pemerintahan tradisional yang digunakan di kerajaan-kerajaan local Indonesia. 

Sabtu, 04 Juni 2011

PERKEBUNAN KOPI DI SUMATERA TIMUR


latar belakang
Dalam sejarah bangsa Indonesia dari masa kolonialisme sampai dewasa ini, sektor perkebunan tidak dapat dipisahkan dan memiliki arti yang sangat penting perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Sejak kedatangan bangsa Barat ke Indonesia mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai kepada masa ketika Barat itu sendiri identik dengan kapitalis dan kolonialis, perkebunan menjadi salah satu bukti yang tidak bisa dikesampingkan untuk merekonstruksi dan menjelaskan sejarah masa lalu bangsa Indonesia.
Berkembangnya sektor perkebunan di Indonesia khususnya pada masa kolonial pada satu sisi dianggap sebagai sesuatu yang memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia, memberikan pengetahuan tentang pertanian modern, memberikan keuntungan ekonomi yang besar, membuka kesempatan perekonomi baru, namun pada sisi lain dianggap sebagai hambatan bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan dan penyiksaan, serta mengakibatkan terjadinya kemiskinan struktural dan kebudayaan.
Jauh sebelum perkebunan milik para pemodal swasta Barat berkembang pesat di abad ke-19, usaha perkebunan untuk ekspor sebenarnya telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Perubahan pola perdagangan pasar dunia pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 yang disertai dengan pelayaran orang Barat langsung ke pusat-pusat produksi dan perdagangan di Asia Tenggara menimbulkan peningkatan permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang dihasilkan kepulauan Indonesia. Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kopi yang sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan penduduk di berbagai daerah di Indonesia.
Para penguasa di kawasan Sumatera Timur misalnya, telah melakukan langkah yang sistematis melalui jalur birokrasinya dalam mengusahakan perkebunan kopi pada akhir abad ke-16. Pembukaan perkebunan itu tidak hanya terbatas di tanah-tanah yang tersedia saja, melainkan juga merambat ke daerah kekuasaannya diberbagai kawasan Sumatera lainnya, sehingga terjadi mobilitas penduduk ke daerah-daerah yang terdapat perkebunan, terutama kopi.
Sejak awal abad ke-16 kaum pedagang Portugis dan Spanyol datang ke kepulauan Nusantara dalam rangka usaha mereka mendapatkan bagian dari perdagangan rempah-rempah di Laut Tengah, yang berasal dari kepulauan Maluku yang sangat menguntungkam itu. Sebelumnya, cengkeh dan pala bisa sampai di pasaran Eropa melalui kaum pedagang India, Arab, dan Venesia. Berbeda dengan kaum pedagang Spanyol dan Portugis, pedagang.Belanda yang tiba pada abad ke-17 dan sesudahnya, tidak menyesuaikan diri dengan pola perdagangan yang telah lama berjalan, tetapi berusaha untuk memonopoli seluruhnya. Untuk mencapai tujuannya, kaum pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Persekutuan Dagang India Timur pada tahun 1602. Dalam usahanya yang tidak mengenal belas kasihan demi laba yang sebesar-besarnya, VOC menaklukkan kepulauan Maluku dan membangun pelabuhan-pelabuhan dagang di pulau-pulau Nusantara lainnya. Selama abad ke-18 fokus perdagangan beralih dari rempah-rempah kopi, yang diperoleh dengan jalan perampasan, terutama di Pulau Jawa dan juga di daerah lainnya di Indonesia. Dengan jalan politik adu domba (divide et impera), Belanda mengambil manfaat dari sengketa-sengketa di antara para penguasa setempat, untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Kehadiran perusahaan dagang Barat, terutama Inggris dan Belanda pada abad XVII memperluas usaha perkebunan yang dilakukan oleh penduduk di beberapa wilayah di kepulauan Indonesia, baik sebagai bagian dari aktivitas ekonomi penguasa politik lokal maupun sebagai bagian dari politik penyerahan wajib yang berhasil ditanamkan oleh perusahaan dagang Barat. Segera setelah Inggris menguasai Bengkulu, pesaing utama Belanda itu memulai usaha perkebunan, terutama kopi di wilayah pantai Barat Sumatera. Sementara itu di Palembang, Jambi, dan Siak yang tidak berada di bawah kekuasaan baik Aceh, Banten maupun perusahaan dagang Barat juga berhasil mengembangkan perkebunan kopi pada saat yang bersamaan.
Perkembangan usaha perkebunan mencapai salah satu puncaknya ketika VOC yang hampir bangkrut menerapkan kebijakan penanaman dan penyerahan wajib kopi di Sumatera Timur, menjelang berakhirnya abad ke-18. Penanaman kopi di Sumatera Timur ini kemudian menjadi salah satu contoh dari tumbuhnya usaha perkebunan yang diselenggarakan oleh negara pada abad berikutnya, yang dikenal sebagai Kultuurstelsel atau biasa diterjemahkan sebagai Sistem Tanam Paksa dalam historiografi Indonesia. Sejak awal abad ke-16, perkebunan kopi yang dikuasai kerajaan Aceh telah mencakup wilayah yang sekarang berada di Sumatera Timur, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.


Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC berusaha memaksimalkan dan memaksakan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula. Di Jawa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Kultuurstelsel dalam rangka memanfaatkan secara paksa tanah-tanah desa baik yang belum maupun yang telah diolah oleh masyarakat di daerah Gubernemen sejak tahun 1830. Penduduk diharuskan menyerahkan tanah dan tenaga kerja mereka dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan berbagai komoditi ekspor seperti yang telah disebutkan di atas untuk kepentingan negara kolonial.
Kebijakan yang sama tidak hanya terbatas dilakukan di Jawa. Seiring dengan ekspansi militer dan perluasan kekuasaan politik kolonial, kebijakan pembukaan perkebunan baru secara paksa ini juga dilakukan di pulau-pulau lainnya, seperti tanam paksa kopi yang dilakukan di Sumatera Timur. Penduduk Sumatera Timur yang telah mengembangkan perkebunan kopi bebas sejak abad ke-18 dipaksa harus menyesuaikan proses produksinya dengan kebijakan tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1840-an. Sebelum itu usaha pembukaan perkebunan besar dengan tenaga kerja paksa telah gagal, sehingga pemerintah menyerahkan kembali proses produksi dalam bentuk perkebunan-perkebunan kopi yang dikelola oleh keluarga namun nilai produksi ditentukan oleh pemerintah. Pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, dengan cara yang hampir sama juga dilakukan di Palembang, Lampung, dan Bengkulu pada waktu yang hampir bersamaan.
Seperti telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan lokal sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan dengan baik jalur birokrasi. Di samping birokrasi colonial, pemerintah kolonial juga memanfaatkan birokrasi tradisional untuk menjalakan usaha perkebunan yang dikuasai oleh negara itu. Sistem Tanam Paksa di Jawa yang berbasis pada desa telah melibatkan pada pejabat lokal dari tingkat bawah sampai bupati bersama-sama controleur sampai residen untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas yang berlangsung. Di Sumatera Timur para tuanku laras, sebagian penghulu, dan kepala kampung menjadi bagian penting dari keberhasilan program itu. Di samping para birokrat kolonial, para elite lokal itu menikmati keuntungan ganda berupa manipulasi terhadap produsen dan imbalan yang diterima dari penguasa kolonial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para elite lokal ini berhasil membangun relasi politis dan ekonomi yang erat dengan kekuasaan kolonial, yang pada titik tertentu menimbulkan konflik dalam hubungan mereka dengan rakyatnya sendiri. Sementara itu bagi para elite yang berusaha bersikap netral seperti yang ditunjukkan oleh banyak penghulu di Sumatera Timur, kondisi ini telah menimbulkan kesulitan bagi para penghulu yang berusaha melindungi rakyatnya dengan kuatnya tekanan kolonial serta adanya kenyataan bahwa para penghulu ini juga menikmati keuntungan ekonomis dari pelaksanaan sistem tanam paksa kopi itu.
Perkembangan perkebunan besar milik pemodal swasta Barat baru berlangsung setelah berlakunya Undang Undang Agraria 1870, penelitian yang dilakukan Vincent Houben menunjukkan bahwa para pemodal swasta Barat telah menyewa tanah-tanah milik para penguasa lokal untuk membuka perkebunan kopi. Sebagai contoh, dari 51.000 ton kopi yang dihasilkan Sumatera Timur pada tahun 1845, 4.413 atau 8,6% berasal dari Vorstenlanden, yang semuanya dihasilkan oleh kebun-kebun milik pemodal swasta Barat. Ada juga bukti yang menyebutkan bahwa perkembangan perkebunan besar milik pengusaha swasta di Sumatera Timur sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1816, jauh sebelum diberlakukannya undang-undang agraria. Biarpun ada larangan terhadap penyewaan tanah milik para penguasa lokal oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1823, sejak tahun 1827 penyewaan itu berlangsung kembali.
Kedudukan pemodal swasta dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan dan pembukaan perkebunan besar di Sumatera. Pembukaan perkebunan kopi secara besar-besaran milik swasta di Sumatera Timur pada akhir abad ke-19 menandai sebuah era baru dalam usaha perkebunan, tidak hanya bagi daerah sekitarnya melainkan juga di seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda selanjutnya. Pengerahan tenaga kerja dari luar daerah, khususnya tenaga kerja kontrak bagi orang-orang Jawa, Cina, dan India di Sumatera Timur pada satu sisi masih meneruskan beberapa ciri tradisi perkebunan yang lama, namun pada sisi yang lain telah menciptakan komunitas perkebunan baru yang unik dan berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya.
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 2/3 dari seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak. Selain melalui sistem kontrak, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan di beberapa tempat seperti Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung dipenuhi melalui program kolonisasi. Berbeda dengan prinsip dasarnya yang direncanakan untuk pengembangan pertanian pangan, sebagian besar dari orang yang dipindahkan dari daerah miskin dan bencana di Jawa itu ternyata lebih banyak yang dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan, di samping untuk proyek-proyek pembangunan lainnya yang dilakukan pemerintah.
Kebutuhan tenaga kerja dari luar yang besar itu kemudian menarik para pendatang dari berbagai wilayah ke sekitar perkebunan, baik sebagai pekerja maupun bukan. Hal ini berbeda dengan lingkungan pertama yang sudah dihuni oleh penduduk ketika perkebunan dibuka, kehadiran pendatang sangat terbatas. Jika pun ada, kedatangan pendatang itu hanya bersifat musiman, dan hanya sedikit yang memutuskan untuk menetap. Namun di lingkungan tipe kedua, daerah sekitar perkebunan dipenuhi oleh para pendatang yang menetap. Seperti yang terjadi di banyak tempat di Sumatera Timur dan Lampung, penduduk pendatang yang berasal dari luar lingkungan adat setempat menjadi lebih dominan. Pada awalnya mereka membuka lahan-lahan yang ada di luar tanah konsesi perkebunan baik untuk pemukiman maupun lahan produksi. Dalam perkembangan waktu, para pendatang ini mulai mengolah lahan-lahan yang telah ditetapkan sebagai tanah konsesi perkebunan, termasuk di lahan-lahan produksi. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menimbulkan persoalan yang kompleks dalam masalah pertanahan antara perkebunan dengan masyarakat.


Perkebunan sebagai sebuah komunitas tetap hidup dalam realitas yang sama ketika komunitas lain telah berhasil memutuskan identitas mereka dari masa lalu yang tidak menyenangkan itu. Persoalannya tidak lagi dapat dijelaskan dalam konteks ekploitasi kapitalis terhadap proletar melainkan produk dari upaya untuk membangun hegemoni kultural dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomis yang tidak mengenal batas kelas, aliran atau konsep-konsep lain yang setara. Interelasi yang melibatkan banyak variabel telah menghasilkan orang tertindas dan penindas yang hampir-hampir permanen tanpa memerlukan terus hadirnya kolonialisme dan kolonis.
Perkembangan sistem perekonomian di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat pemerintahan, bahkan memiliki tentara.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana cara memutuskan diri dari belenggu masa lalu itu? Tentu saja tidak ada suatu cara instan yang dapat digunakan. Salah satu cara adalah memahami secara benar perkembangan historis masyarakat perkebunan dari masa lalu hingga saat ini sebagai sebuah keberlanjutan struktural maupun kultural. Jika pemahaman itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi komunitas perkebunan untuk keluar dari warisan sejarah yang hanya menyenangkan segelintir anggotanya saja dan menyengsarakan sebagian besar yang lain.

Selasa, 05 April 2011

langkah-langkah penelitian

  1. judul
  2. pengajuan masalah
  3. perumusan hipotesa
  4. metodologi
  5. analisis
  6. penyusunan laporan
sumber masalah 
  • fenomena pendidikan
  • perubahan tekonologi
  • bacaan, laporan penelitian
  • seminar, diskusi, pertemuan ilmiah
  • pernyataan pemegang otoritas
  • pengamatan sepintas
  • pengalaman pribadi
  • perasaan intuitif
pertimbangan pengambilan masalah
1. subyketif, berasal dari calon peneliti, yang perlu diperhatian anatara lain kesesuain penelitian, biaya, waktu, alat, perlengkapan, bekal teoritis, dan penggunaan metode
2. obyektifitas, berasal dari masalah yang akan diteliti. yang perlu diperhatiakn adalah sejauh mana hasilnya nanti akan memberi sumbangan dalam bidang yang bersangkutan dan sumbangan pemecahan masalah.

pertanyaan untuk menjajaki masalah
  • apakah permasalahan dapat dijawab secara efektif melalui penelitian
  • apakah nilai penemuan cukup berarti dan bermanfaat
  • apakah merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah diteliti
  • apakah memungkinkan untuk diteliti  
sistematika penelitian kuantitatif
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. PEMBATASAN MASALAH
D. PERUMUSAN MASALAH
E. TUJUAN PENELITIAN
F. MANFAAT PENELITIAN
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA FIKIR, DAN HIPOTESA PENELITIAN
A. DESKRIPSI TEORI DAN HASIL PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
B. KERANGKA FIKIR
C. HIPOTESA PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
D. INSTRUMEN DAN TENIK PENGUMPULAN DATA
E. TEKNIK ANALISA DATA
BABIV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN SUBYEK PENELITIAN
B. ANALISA DATA
C. PENGUJIAN HIPOTESIS
D. INTERPRETASI HASIL PENELTIAN
E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
B. DISKUSI
C. KETERBATASAN PENELITIAN
D. IMPLIKASI
E. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 

Penelitian

penelitian ---> research (Re+search)
pengertian penelitian
1. Hillway
penelitian adalah metode sytudi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.
2. Whitrey
penelitian adalah metode untuk menemukan pembenaran sehingga penelitian juga merupakan metode berfikir secara teoritis.
hubungan antara ilmu, penelitian dan kebenaran
menurut Almaek, penelitian merupakan proses untuk mencari dan membuktikan kebenaran, ilmu adalah hasil yang diperoleh dari sebuah penelitian, hasil yang diperoleh haruslah menunjukkan suatu kebenaran. 
perkembangan penelitian kearah metode ilmiah terjadi karena rasa ingin tahu manusia tarhadap apa yang terjadi disekitarnya.
ilmu logika (silogisme) mempunyai andil besar daam proses menuju metode penelitian ilmiah. yanng menjadi dasar dari penelitian ilmiah adalah nalar, kekuatan analisa yang kritis melalui cara berfikir logis/masuk akal. sillogisme merupakan pendekatan sistematis pertama dalam upaya menganalisa sesuatu menggunakan metode deduktif mulai dari kebenarana umum menuju kesimpulan spesifik.
pelopr ilmu logika adalah Aristoteles (filsuf yunani)
  • aristoteles menerapkan metode deduktif, dari umum ke khusus
  • francis bacon menerapkan metode induktif, dari khusus ke umum
  • charles darwin menggunakan metode deduktif-induktif, kesimpulan dari penilitiannya yaitu tentang penelitian perubahan biologis pada binatang ada kaitannya dengan proses seleksi alam.
  • john davey, menggunakan metode deduktif-induktif dengan proses 1.identifikasi dan pembatasan metode, 2.formulasi hipotesis, 3.mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganlisis data, 4.formulasi kesimpulan, dan 5.verifikasi, apakah hipotesis ditolak, diterima atau dimodifikasi.
ciri-ciri penelitian
  1. dirancang dan diarahkan untuk memecahakan masalah tertentu, jawaban masalah menentukan hubungan   2 variable atau lebih sebagai fokus penelitian.
  2. tekanan pada pengembangan generalisasi, prinsip, teori, sehingga hasilnyna mempunyai nilai deskripsi dan prediksi, bukan sekedar memburu dan mengumpulkan data.
  3. berangkat dan bermuara pada masalah atau obyek yang dikaji
  4. memerlukan observasi dan deskripsi yang akurat. untuk itu digunakan kuantifikasi serta berbagai alat pengukuran dan deskripsi yang cermat. instrumen dan prosedur pengumpulan data yang valid agar hasilnya akurat.
  5. berkepentingan dengan penemuan baru, bukan sekedar mensintesa atau mereorganisir hal-hala yang telah diketahui sebelumnya
  6. dirancang secara teliti dan cermat
  7. menuntut keahlian sehingga perlu memahami konsep-konsep, istiah-istilah, menguasai ketrampilan teknis dalam memahami dan menganalisa data (pengetahuan memadai)
  8. diwarnai upaya obyektif dan logis sehingga harus menekankan bias dan pengaruh emosi dalam penelitian
  9. menuntut kesabaran
  10. kadang kadang menuntut keberanian
  11. pencatatan dan pelaporannya dilakukan secara tertib dan cermat
macam-macam penelitian
  1. penelitian dasar / murni, tujuan berkepentingan dengan penemuan generalisasi/ prinsip-prinsip dalam rangka mengembangkan teori ilmu pengetahuan sehingga tidak risan dengan hal-hal praktis. penelitian ini banyak dilakukan di laboratorium
  2. penelitian terapan, tujuannya untuk penemuan" baru yang berkenaan dengan aplikasi suatu konsep teori tertentu yang bersifat praktis. diperlukan dalam rangka perbaikan atau penyempurnaan suatu produk atau proses tertentru. banyak digunakan dalam penelitian pendidikan, baik itu PBM atau bahan-bahan ajar.
  3. penelitian aksi (action research), cara penelitiannya melalui pengamatan dari suatu kebijakan yang sedanga diselenggarakan. tujuannya untuk menkroscek kebijakan itu, mana yang belum efektif dan efisien sesuai dengan tujuan dan target awal maka hasus diperbaiki. misalnya dalam penelitian pendidikan. contohnya : mengembangkan sistem PPL yang efektif dan efisien. 
  4. penelitian deskriptif, berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada (kondisi, hubungan, proses, pendapat, akibat, efek yang terjadi). tujuannya untuk mmebuat penyadaran secara sistenatis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi suatu daerah tertentu.
  5. studi kasusu, tujuannya untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan, suatu unit sosial, individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.ciri-cirinya 1.penelitian mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisir baik mengenai unit tersebut, 2.cenderung meneliti jumlah unit, tetapi mengenai variabel dan kondisi-kondisi yang besar jumlahnya, 3.bertujuan untuk pemecahan masalah
  6. penelitian korelaisonal, tujuannya untuk menyelidiki sejauh mana variasi" pada suatu faktor berkaitan dengan variasi" pada 1 atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.
  7. penelitian eksperimen sungguhan, tujuannya untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau ;lebih kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.

pendekatan untuk memperoleh kebenaran

pendekatan untuk memperoleh kebenaran dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan ilmiah dan non ilmiah. 
  1. pendekatan ilmiah menuntut dilakukannya cara-cara atau langkah kerja tertentu agar dapat dicapai pengetahuan yang benar melalui penelitian ilmiah
  2. pendekatan non-ilmiah, tidak dilakukan melalui langkah-langkah yang cermat. pendekatan ini banyak terjadi di masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang umum muncul disana.
  3.  macam-macam pendekatan non-ilmiah
  • akal sehat (common sense), digagas oleh Conant dan dikembangkan oleh Kelinger. yang dimaksud adalah serangkaian konsep dan bagan konseptual yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi manusia. contohnya: pada abad ke-19 hukuman merupakan alat utama dalam pendidikan untuk memotivasi siswa, pada perkembangannya tindakan ini dibantah oleh para peneliti. reward dirasa lebih meningkatkan motivasi dibandingkan hukuman.
  • prasangka, yaitu pencapaian pengetahuan secara akal sehat oleh pihak yang berkepentingan, mudahnya timbul prasangka akan mempersempit pengamatan, mengkambing hitamkan orang lain, menyokong suatu pendapat dan dengan akal sehat cenderung ke arah pembuatan generalisasi yang terlalu luas yang kemudian menimbulkan prasangaka.
  • pendekatan deskriptif, diperoleh dengan cepayt melalui proses yang tidak disadari dan dipikirkan terlebih dahulu. tidak melalui langkah-langkah sistematis dan terkendali. akibatnya sulit dipercaya karean menggunakan metode apriori.
  • penemuan kebetulan dan coba-coba, diperoleh tanpa rencana, tidak pasti dan tidak melalui langkah-langkah sistematis dan terkendali. misalnya saja percobaan pertama diikuti dengan serangkaian percobaan selanjutnya tanpa kesadaran akan pemecahan tertentu namun pemecahan terjadi secara kebetulan (trial and eror)
  • pendapat otoritas ilmiah, otoritas ilmiah adalah orang yang telah menempuh pendidikan formal tertinggi atau pengalaman kerja ilmiah dalam bidang tertentu. pendapat mereka sering diterima tanpa diuji walaupun tidak selamanya benar karena dasar pemikirannya logis, bukan penelitian.
tugas ilmu dan penelitian
  1. menyandra/ memeriksa/ mendeskripsikan/ menggambarkan secara jelas dan cermat mengenai hal-hal yang dipermasalahkan.
  2. menerangkan/ eksplorasi kondisi-kondisi yang mendasari terjadinya suatu peristiwa.
  3. menyusun teori, mencari dan merumuskan hukum-hukum mengenai hubungan antar kondisi satu dengan yang lain atau hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain.
  4. membuat prediksi/ ramalan/ estimasi/ proyeksi mengenai peristiwa yang akan terjadi atau gejala yang akan muncul.
  5. mengendalikan dan melakukan tindakan pengendalian guna mengendalikan suatu peristiwa atau gejala. 

      Senin, 04 April 2011

      Sistem Pemerintahan Hindia-Belanda

      A. Sistem Pemerintahan Desentralisasi
      Pemerintahan Hindia-Belanda berupaya menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk mengatur kekuasaan di wilayah jajahannya. Pada dasarnya pemerintahan desentralisasi hindia-Belanda bertujuan untuk membuka kemungkinan diadakannya daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. 
      Pada awalnya gubernur jenderal yang merupakan wakil ratu belanda memiliki kekuasaan yang sanagt luas, sehingga untuk melaksanakan tugasnya dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat baik pusat maupun daerah. Namun kekuasaan yang tak terbatas menuai protes dari komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena mereka juga ingin menyuarakan pendapatnya dalam menentukan kebijakan.
      Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk membentuk gewestelijk raden, yaitu suatu dewan dimana warga eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Inilah yang mengawali terbentukany decentralisatie wet, kurang lebih pasalnya berisi tentang pemerintah di daerah-daerah jajahan kerajaan Belanda.
      B. Birokrasi Pada Masa Pemerintah Hindia-Belanda
      sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. untuk itu pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani, hal ini bertujuan untuk menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.
      Terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan pada saat pemerintahan kolonial berlangsung, yaitu mulai diperkenalkannya sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi modern yang puncaknya pada ratu Belanda dan sistem administrasi tradisional (inheemche Bestuur) masih dipertahankan oleh pemerintah kolonial.
      Dalam struktur pemerintahan di nusantara, Belanda menempatkan Gubernur Jenderal yang dibantu oleh gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di batavia, setingkat wilayah propinsi. Sedangkan untuk tingkat kabupaten terdapat asisen residen dan pengawas (Controleur). keberadaan asisten residen diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pengawasan dari raa hanya ditunjukkan pada saat-saat tertentu, seperti pengiriman upeti kepada raja. bupati tidak memiliki kekuasaan yang otonom lagi, akan tetapi selalu mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk pemerintah pusat. perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong Belanda untuk mengadakan perubahan hak pemakaian tanah.
      struktur administrasi pemerintah kolonial belanda di indonesia sebagai berikut. gubernur jenderal memegang kekuasaan tertinggi sebagai wakil dari Ratu Belanda yang berkedudukan di propinsi. dikabupaten diperintah oleh gubernur, sub kabupaten oleh residen, dibawahnya ada asisten residen yang mengawasi para patih dan bupati, dibawahnya ada pengawas yang bertugas mengawasi wedana dan asisten wedana.
      C. kebijakan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda
      setelah VOC dibubarkan maka indonesia berada di bawah pemerintah Hindia-belanda, sehingga beberapa kebijakan yang diterapkan langsung berasal dari keputusan pemerintah Belanda di Amsterdam. beberapa kebijakan yang sempat diterapkan oleh pemerintah belanda yaitu:
      • kuota pajak dan sumbanagn pajak, yaitu kewajiban rakyat untuk membayar pajak (uptei hasil pertanian) kepada pemerintah belanda melalui para bupati
      • sistem pajak bumi, para pemilik tanah wajib membayar pajak tanah kepada pemerintah sebagai bentuk biaya penyewaan
      • sistem tanam paksa, masyarakat jawa dipaksa untuk menanam tanaman komositi perdagangan eropa yang menguntungkan belanda
      • liberalisasi tanah, pemerintrah banyak menjual kavling-kavling tanah kepada pihak sawasta, sebagian besar tanah juga disewakan untuk mendirikan perkebunan
      • tenaga kerja, penduduk pribumi dijadikan tenaga kuli di perkebunan belanda baik itu dibayar, maupun bekerja secara paksa
      walaupun beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belanda mengalami perubahan dari caara yang dilakukan oleh VOC namun masih ada beberapa hal yang masih dipertahankan seperti zaman VOC berkuasa. seperti jasa blandonng yang masih digunakan pada masa pemerintahan Deandles dan rafles.  kebijakan-kebijakan dibawah pemerintahan Belanda tidak membawa perubahan signifikan karena sistem perdagangan yang dianut oleh pemerintah belanda masih menggunakan sistem perdagangan yang digunaka oleh VOC. selain itu juga cara para pejabat dan pegawai yang bekerja dipemerintah belanda masih sama dengan cara kerja paad zaman VOC.